Organization Development partner for business transformation and growth

Dari Toxic Culture ke Learning Culture

Kebanyakan organisasi percaya bahwa strategi dan proses yang bagus sudah cukup untuk membawa kemajuan. Nyatanya, budaya yang tidak sehat atau toxic culture sering kali menjadi hambatan terbesar. Produktivitas menurun, orang takut bersuara, dan inovasi mandek. Beberapa studi akademik mengidentifikasi kendala-kendala spesifik yang memperlambat atau bahkan menggagalkan usaha transformasi budaya dari toxic menuju learning culture. Inilah tanda-tanda toxic culture dan gambaran tentang tantangan yang dihadapi oleh organisasi, yang mengikis semangat dan mematikan potensi belajar di dalam organisasi.

Mengapa kendala ini penting?

Penelitian yang mengukur culture health di beberapa institusi menunjukkan bahwa budaya organisasi yang tidak sehat adalah penyebab terjadinya turnover dan penurunan kinerja. Artinya, tanpa mengatasi akar budaya, intervensi teknis akan terus “bocor” hasilnya tak berkelanjutan.

Kendala utama yang ditemukan dalam penelitian Indonesia

  1. Kepemimpinan toxic dan pola pengaruhnya
    Banyak studi melaporkan bahwa toxic leadership, gaya kepemimpinan yang otoriter, blame-oriented, atau intimidatif menjadi sumber menyuburkan toxic culture. Dampaknya nyata seperti penurunan kepuasan kerja, munculnya perilaku tidak produktif di tempat kerja, dan hilangnya kepercayaan antar pegawai. Budaya organisasi toxic culture tersebut sedikit demi sedikit harus diganti dengan budaya yang fungsional. Intervensi harus memasukkan work with leaders coaching, 360-feedback, dan program pengembangan kepemimpinan yang menekankan rasa aman dan partisipasi dari anggota tim.
  2. Komunikasi vertikal yang buruk dan kurangnya ruang refleksi
    Saluran komunikasi yang tertutup (top-down only) dalam organisasi akan memperkuat ketidakjelasan tujuan dan melewatkan adanya umpan balik. Ketidakmampuan untuk melakukan evaluasi menyebabkan organisasi mengulang kesalahan yang sama. Untuk mengatasi hal ini, bisa dilakukan group discussion dan forum umpan balik, agar diagnosis budaya tidak hanya “data kuantitatif” tetapi juga cerita riil dari pekerja.
  3. Kurangnya infrastruktur pembelajaran dan knowledge sharing
    Penelitian tentang learning culture di perusahaan Indonesia menunjukkan variasi, ada organisasi yang sudah sistematis, tetapi banyak yang belum memiliki mekanisme knowledge sharing, modul pembelajaran, atau waktu terstruktur untuk pembelajaran kerja. Tanpa fasilitas ini, semangat belajar sulit untuk menjadi rutinitas. Selainprogram pelatihan, tim OD (Organization Development)  perlu membantu membangun mekanisme informal learning circles dan mentoring sebagai bagian dari rutinitas kerja.
  4. Resistensi budaya (norma dan kebiasaan yang mengakar)
    Studi di berbagai organisasi menunjukkan indeks culture toxic yang tinggi berkaitan dengan praktik birokratis dan kurangnya komitmen untuk berubah. Pendekatan OD harus bersifat partisipatif melibatkan peran dari berbagai level agar perubahan norma bisa didukung secara luas, bukan hanya dipaksakan lewat kebijakan.
  5. Pengukuran yang lemah dan asumsi tanpa data
    Tanpa indikator jelas, organisasi sulit menilai progres dan menyesuaikan intervensi. Gunakanalat ukur kombinasi (survei kultur, wawancara, observasi) sebagai baseline dan metrik keberlanjutan.

Transformasi dari toxic culture ke learning culture adalah pekerjaan hati-hati dan panjang. Penelitian dari Indonesia menunjukkan bahwa kendala yang sering muncul bersifat struktural (kepemimpinan, komunikasi, sumber daya) dan kultural (norma lama, resistensi). Dengan menggabungkan diagnosis berbasis bukti, intervensi kepemimpinan, pembangunan infrastruktur pembelajaran, serta pengukuran yang jernih, pendekatan OD bukan hanya relevan, tetapi esensial untuk menjamin perubahan yang berkelanjutan. Organisasi yang sukses bukan hanya yang menulis kebijakan baru, melainkan yang berhasil mengubah cerita-cerita keseharian yang menentukan bagaimana orang bekerja dan belajar bersama.

Open chat
Hello, can I help you?