
Bayangkan kamu sudah bekerja selama bertahun-tahun, tiba-tiba dipanggil ke ruangan dan diberi tahu kamu akan dipindahkan. Enggak, bukan ke posisi yang lebih tinggi seperti yang kamu mau, melainkan ke posisi yang lebih rendah. Tanpa penjelasan. Tanpa rencana. Hanya perintah. Itulah realita quiet cutting, strategi organisasi yang saat ini mulai marak terjadi, termasuk di Indonesia.
Beberapa bulan terakhir, isu ini mulai muncul dalam berbagai percakapan, di Twitter, LinkedIn, bahkan ruang gosip kantor. Ada karyawan yang tiba-tiba dipindah dari posisi strategis ke peran administratif. Ada yang dibebani tugas baru tanpa pelatihan, seolah olah diparkir sementara sampai resign sendiri.
Beberapa media bahkan menyorot fenomena ini sebagai bentuk PHK halus. Bukan karena performa buruk. Tapi karena strategi bisnis berubah, dan organisasi ingin menyesuaikan struktur tanpa geger pemutusan hubungan kerja.
Kami percaya, organisasi bisa saja berubah. Struktur bisa bergeser. Tapi cara menyampaikannya yang membuat perbedaan besar. Kami belajar bahwa dalam situasi seperti ini, yang dibutuhkan bukan hanya transisi jabatan, tapi transisi makna.
Kita semua ingin dihargai sebagai manusia, bukan sekadar nama di bagan organisasi. Kita butuh tahu “kenapa saya”, bukan hanya “apa yang harus saya kerjakan”. Dan ketika itu tidak terjadi, luka sunyi bisa tinggal lebih lama dari yang diperkirakan.
Jika quiet quitting lahir dari kekecewaan, dan quiet cutting dari ketidakjelasan, maka jawaban satu-satunya adalah menghadirkan kembali keterbukaan. Tantangannya itu nyata, tapi bukan berarti tak ada jalan keluar. Berikut beberapa pendekatan yang bisa dilakukan untuk menjadikan quiet cutting lebih manusiawi dan berdampak positif.
- Bangun percakapan makna sebelum dan sesudah perpindahan
Tim HR atau HC perlu mendorong agar setiap rotasi atau perpindahan tidak dilakukan diam-diam, melainkan disertai komunikasi yang bermakna: “Mengapa ini terjadi”, “Apa yang diharapkan”, dan “Bagaimana kamu bisa berkembang di peran baru ini”. - Latih manajer menjadi fasilitator transisi
Berikan pelatihan kepada para atasan agar mereka tak hanya menyampaikan perubahan secara administratif, tapi juga bisa mendampingi secara emosional dan psikologis. - Monitoring kondisi psikologis dan dinamika tim pasca-perubahan
Gunakan alat seperti pulse check, employee listening, atau sesi coaching untuk mendeteksi rasa kecewa, bingung, atau kehilangan makna pada karyawan terdampak. - Buat mekanisme ‘restart’ yang manusiawi
Saat seseorang ditempatkan di posisi baru, perlakukan seperti onboarding ulang: beri waktu adaptasi, klarifikasi ekspektasi baru, serta bantu mereka menyusun ulang rencana kariernya. - Dekatkan kembali nilai dan budaya organisasi ke konteks perubahan
Jelaskan bahwa perubahan bukan hukuman, tetapi bagian dari evolusi bersama. Pastikan setiap individu merasa tetap menjadi bagian penting dari perjalanan organisasi.
Quiet cutting bukan hanya urusan HR atau manajemen. Ini adalah isu tentang bagaimana kita memperlakukan satu sama lain dalam masa sulit.
Sebagai praktisi, pemimpin, atau bahkan rekan kerja, kita bisa memilih untuk hadir, mendengar, dan memaknai ulang perpindahan ini sebagai bagian dari pertumbuhan. Diam bukanlah solusi. Tapi percakapan bisa jadi awalnya.